KEGELISAHAN mulai terjadi terhadap potret manusia yang cenderung menunjukkan sikap dan berperilaku kurang terpuji.Tindakan berselisih paham antarteman, konflik, adu domba, kurang menghargai orang lain sebagai hal yang biasa. Sementara semangat kebersamaan, tenggang rasa ( tepa selira ), gotong royong, dan pertemanan sejati sudah tidak begitu diperhatikan di kalangan masyarakat.
Di kalangan remaja maupun pelajar, kenakalan mereka sudah banyak membuat miris orang tua.Mulai dari kebiasaan tongkrongan, merokok, menenggak miras, tawuran, hingga yang lebih ekstrem seks bebas dan mencicipi narkoba.Agaknya generasi kita sudah menghadapi tantangan besar dari sebuah budaya konsumtif, pragmatis, instan, materialis, dan kekerasan.
Banyak pihak yang berpendapat, salah satu penyebab munculnya masalah ini disebabkan lunturnya nilai moral dan budi pekerti pada generasi kita. Sekarang, tidak banyak anak muda yang mampu bertutur bahasa dengan santun, berperilaku sopan terhadap orang lain, atau yang lebih tua. Budi pekerti sudah menjadi barang yang langka dan tidak dikenali lagi. Di era ini, seolah-olah anak didik hanya dipaksa untuk mendalami soal pengetahuan dan perkembangan teknologi-globalisasi yang terkadang miskin nilai moral dan tata krama.
Contoh sederhana, bagaimana seorang siswa yang sudah kesulitan membiasakan ucapan kata permisi ( nuwun sewu ) saat menghadap seorang guru, mengucapkan terima kasih ( matur nuwun ) usai menerima sesuatu. Bahkan yang lebih konyol tanpa disadari menggunakan tangan kiri tatkala memberikan barang (seuatu) kepada guru.
Guru memegang peranan penting dalam perkembangan dan pengetahuan peserta didik. Seperti tugas utamanya mencetak anak didik jadi orang yang berpengetahuan, berwawasan maju, dan berakhlak baik. Tidak terkecuali untuk menanamkan kembali nilai budi pekerti kepada siswa. Salah satu posisi yang sangat strategis dan potensial dalam menggarap perkara ini adalah guru bahasa Jawa, walaupun di mata pelajaran lain juga bisa. Kendati masih ditempatkan pada muatan lokal (mulok), materi ini diajarkan dalam kurikulum satuan pendidikan.Bahkan, sejak munculnya SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5/01/2005 Tanggal 23 Februari 2005, pelajaran ini mulai diajarkan di tataran SMA/sederajat.
Menguatkan budi pekerti
Secara etimologi, budi pekerti berasal dari kata ’’budi” dan ’’pekerti”.Budi berarti adalah gabungan pikiran dan pekerti atau perbuatan yang selaras atau baik. Penanaman idealnya harus diajarkan kepada anak sejak usia dini, baik lewat pengajar formal di sekolah, lingkungan, dan rumah tangga.
Peran guru Bahasa Jawa dalam pengajaran budi pekerti di sekolah sangat strategis. Sebab materi ini tidak sekadar mengajar tentang ilmu bahasa. Lebih dari itu mengajarkan nilai moral, budaya yang adiluhung , serta filosofinya. Dari aspek bahasanya saja dapat diukur melalui undha usuk (tingkatan) penggunaan bahasanya bagi orang tua atau yang lebih muda usianya.
Contohnya, bahasa Jawa dibedakan penggunaan kata adus (mandi) dan siram (mandi) sesuai dengan tingkat tuturnya. Jika anak kepada orang tua tentu harus menyebut bapak siram (ayah mandi), bukan bapak adus (ayah mandi). Atau kula tilem (saya tidur) dan bapak sare (ayah tidur)Kenyataannya di tengah masyarakat soal kualitas berbahasa Jawa (krama) tersebut sudah banyak yang terbolak-balik ucapannya.
Di luar aspek bahasa, yang dapat diajarkan bagi siswa seperti halnya cerita ketokohan politik Jawa zaman dulu, piwulang dari naskah (buku) kuno, nilai moral dari cerita rakyat, cerita cekak, babad, cerita pewayangan, filsafat tembang, dan masih banyak lagi. Jika semuanya diangkat dan disajikan kembali dengan baik tentu bakal jadi mutiara yang bersinar untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral terhadap generasi ini.
Nilai moral guru
Guru adalah sebuah profesi yang butuh keahlian tersendiri. Sebab guru mempunyai peran yang sangat besar guna menyiapkan generasi bangsa yang lebih berkualitas.Seperti amanat Undang- Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini dari jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.
Guru memerankan tugas seperti halnya seorang dokter yang akan menyembuhkan pasien. Karenanya tugas guru memiliki keahlian yan jelas. Yakni mengantarkan siswa ke arah tujuan yang diinginkan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa. Jika sudah demikian diharapkan generasi yang dicetak oleh guru dapat jadi manusia berpengetahuan, disiplin, berakhlak mulia, dan berperan aktif di tengah masyarakat.
Agar guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik, selain persyaratan keahlian, guru harus mempunyai kompetensi dalam bidang pedagogik (pengajaran), kepribadian, dan sosial. Persyaratan terseut harus dipenuhi seorang guru agar dapat jadi guru yang profesional sekaligus berkualitas baik secara ilmu maupun moral. Di hadapan siswa, guru juga harus menempatkan dirinya sebagai orang tua kedua, motivator, petualang, sang pembebas dan pejuang, serta pribadi yang berjiwa profetik (Asep Umar Fahrudin, 2009).
Satuan pendidikan diharapkan mampu mencetak kader bangsa yang mumpuni dan berbudi baikMumpuni memiliki pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, dan kemampuan dalam dalam bidang teknologi sesuai dengan perkembangan dunia. Namun begitu, siswa juga harus memiliki kematangan emosional, spiritual, dan mentalitas yang baik. Sementara agar cita-cita demikian terwujud tentu butuh dukungan masyarakat, pemerintah, serta semua pihak yang peduli terhadap masa depan generasi ini. Sri Paminto Wartawan, pengamat pendidikan dan budaya, tinggal di Grobogan